PEKANBARU,Classnews.id – Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Riau melaksanakan Focus Group Discusioon (FGD) Strategi Komunikasi Sadar Bencana Melalui Penguatan Informasi 2023. Di Gedung Auditorium Lt 8 Menara Lancang Kuning Pekanbaru, Kamis (23/11/23).
Kalaksa BPBD kabupaten Bengkalis,Drs Sufandi dan Kabid Pencegahan dan Kesiapsiagaan menghadiri kegiatan FGD tersebut bersama BMKG Pekanbaru, BASARNAS Pekanbaru, BPBD kabupaten/kota se Propinsi Riau, Forkompinda Propinsi Riau dan juga sivitas akademika universitas dan kampus di Pekanbaru.
Dalam sambutannya, Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Riau, M Edy Afrizal Menyebutkan Tak lepas dari tantangan yang terletak pada konsistensi kerjasama, soliditas, dan sinergi dalam kerangka multi-helix, sehingga pentingnya komunikasi terbuka untuk mengatasi kendala dan membangun solusi berkelanjutan.
Sebagai narasumber Abdul Muhari, PhD dari Pusdatinkom BNPB dengan judul Komunikasi Penanggulangan Bencana.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari menyebutkan sebanyak 1.862 bencana yang terjadi selama Januari-Juli 2023 disebabkan oleh faktor perbuatan manusia atau human made.
“Akar permasalahan bencana hidrometeorologi baik basah maupun kering itu akibat dari kerusakan lingkungan, dan bencana yang terjadi tidak lepas dari aktivitas manusia atau human made disaster,” kata Abdul Muhari
Ia mengatakan bencana akibat ulah manusia ini harus terus dievaluasi dan dilakukan mitigasi untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan.
“Di daerah hulu, kerusakan lingkungan terjadi akibat alih fungsi lahan, pembalakan dan penebangan liar, sedangkan di daerah hilir akibat arus urbanisasi yang diikuti pembetonan kota sehingga air tidak bisa meresap ke tanah,” ujar dia.
Berdasarkan data BNPB, penyumbang kejadian bencana paling tinggi di Indonesia sebagian besar dari Provinsi Aceh dan Sumatera Barat, dan memasuki musim kemarau pada Juli 2023 ini, secara historis ada tiga provinsi di Sumatera yang menjadi daerah dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) cukup tinggi yakni Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan.
Adapun jenis kejadian bencana alam paling banyak hingga Senin (3/7) yakni banjir sebanyak 671 kasus, cuaca ekstrem 619 kasus, tanah longsor 329 kasus, dan karhutla 194 kasus.
“Bencana hidrometeorologi basah, seperti banjir, cuaca ekstrem, dan tanah longsor itu akibat human made,” kata Abdul Muhari.
Sedangkan untuk bencana hidrometeorologi kering seperti karhutla, menurut dia, juga diakibatkan oleh faktor manusia.
“Pembakaran itu dilakukan dini hari sampai subuh, di mana saat itu tidak ada petugas yang berpatroli, dan saat matahari sudah terbit, kawasan yang terbakar itu sudah meluas, sehingga menyebabkan dampak yang cukup besar,” tuturnya.
Ia mengatakan saat ini memang BNPB tidak bisa menekan kasusnya sampai nol, tetapi respons terhadap karhutla bisa dipercepat.
“Saat ini BNPB sudah menyiapkan helikopter water bombing yang cukup efektif saat kebakaran hutan belum meluas, sehingga batasan penjalaran api bisa dimatikan lebih dulu. Begitu (api) sudah tidak bergerak baru dibantu satgas daerah,” katanya.
Hal ini adalah dampak baik dari sinergi pemerintah pusat maupun daerah, baik lintas kementerian maupun pemda.
“Sinergi BNPB dan pemda, koordinasi tingkat OPD dan lintas kementerian sudah semakin rapi. Tim di lapangan seperti Manggala Agni dan Masyarakat Sadar Api sudah lebih cepat merespons kejadian di lapangan,” demikian Abdul Muhari.