BENGKALIS, Classnews .id – Bangunan tua bersejarah, dahulu dikenal sebagai Huis Van Bewaring te Bengkalis atau lebih familier disebut “Jell Belanda”, di jalan Pahlawan, kota Bengkalis dijadikan pusat kegiatan hari kedua rangkaian ZAMARA 2025, Kamis (20/11/25).
Bangunan tua yang masih gagah berdiri, dan baru saja ditetapkan Cagar Budaya Kabupaten Bengkalis pada 12 November 2025, dengan diiringi musik Zapin, seakan disana telah terbuka kembali dimensi pintu memori masa silam, ketika cahaya, instalasi kayu-kain, dan riak musik zapin mulai mengisi halaman dan lorong-lorongnya dalam sekitaran bangunan tersebut.
Di ruang tua itu, terlihat puluhan bangku tempat para tamu duduk, penataan artistik yang diikhtiarkan Tim Kreatif BPK Wilayah IV bersama aktivasi kolektif komunitas budaya tampak begitu menyatu dengan karakter gedung yang mampu membuka cakrawala masa silam.
Terlihat, pencahayaan lampu-lampu itu, seakan membelai lembut tekstur dinding kolonial, rangka kayu simetris berdiri seperti lentera maritim. Sementara kain putih yang menari perlahan memberi kesan, bangunan tua itu telah kembali bernapas setelah sekian lama terdiam, yang seakan terkesan aroma mistisnya.
Demikian yang digambarkan oleh Kepala BPK Wilayah IV, Jumhari, yang telah mengikuti jalannya acara sejak awal, bahwa kesan mendalam terhadap penataan ruang di Jell Belanda yang penuh dengan nilai-nilai sejarah.
Menurutnya, Jell Belanda memiliki potensi besar untuk menjadi ruang publik budaya apabila dikelola secara berkelanjutan dan kolaboratif. Ditekankan, gedung tersebut berada sepenuhnya dalam kewenangan Pemerintah Kabupaten Bengkalis setelah penetapannya sebagai cagar budaya.
“Sehingga peluang pemanfaatan, mulai dari pemugaran, revitalisasi, hingga program kebudayaan, dapat dilakukan secara lebih terarah apabila terbangun kerja sama yang konsisten antara Pemkab dan BPK Wilayah IV, “terangnya.
Dijelaskan, bangunan ini punya daya hidupnya sendiri. Jika diaktifkan secara rutin melalui kegiatan berbasis riset dan seni, Bengkalis akan memiliki pusat kebudayaan maritim yang tidak hanya kuat secara sejarah, tetapi juga relevan dengan kebutuhan masa kini.
“Kegiatan kali ini merupakan bentuk kepercayaan yang ia berikan kepada para stafnya untuk berkreasi dan berinovasi dalam kerangka tugas pelestarian budaya, “tegasnya.
Ia mencontohkan dari beberapa program lainnya yang tengah berjalan, seperti Julang Budaya Siak dan Julang Tradisi Lisan di Pekanbaru, sebagai upaya memberi ruang bagi staf untuk menghadirkan pendekatan kreatif berbasis penelitian.
“Pulau Bengkalis layak mendapat apresiasi khusus karena memiliki sejarah peradaban yang panjang dan kontribusi besar dalam perkembangan kebudayaan Melayu di kawasan Selat Melaka, “ungkap Jumhari.
Hari kedua dalam kegiatan ZAMARA 2025 di Jell Belanda ini, dihadiri sejumlah tokoh kebudayaan dan akademisi, antara lain Anastasia Wiwik Swastiwi (Dosen Hubungan Internasional UMRAH), Prof. Anis dari Malaysia.
Kemudian seorang dosen Politeknik Negeri Bengkalis, Elvi Rahmi dan budayawan Bayu Made Winata, seorang sejarawan yang termashur dengan bukunya yang berjudul Datuk Laksemana Raja Di Laut 1800-1928 Penguasa Perairan Kerajaan Siak” bersama Miral Mukhazi cucu Datuk Laksemana Raja Di Laut IV.
Kehadiran mereka memberikan warna tersendiri, karena diskusi yang berlangsung ketika dan setelah pertunjukan ikut memperkaya pembacaan tentang zapin sebagai ekspresi budaya, bukan sebatas tarian panggung.
Mereka memandang, tubuh penari tidak hanya bergerak mengikuti ritme, tetapi sedang mengartikulasikan sejarah, spiritualitas, dan tata nilai masyarakat pesisir.
Pertunjukan malam itu menghadirkan tiga kelompok utama: Zapin Meskom yang dibawakan langsung maestro Baharudin, Zapin Kote dari Lingga, serta Zapin Penyengat dari Tanjungpinang.
Selain itu, beberapa zapin yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) juga ditampilkan sebagai bentuk dorongan agar pemerintah daerah terus memperkuat inventarisasi dan perlindungan budaya lokal.
Pendekatan penyajian pada malam itu menegaskan bahwa ZAMARA tidak sekadar mempertontonkan zapin, melainkan membaca dan menafsirkan zapin sebagai sistem pengetahuan—yang tumbuh dari ingatan kolektif, spiritualitas zikir, relasi sosial, dan lingkungan maritim yang menjadi latar kehidupan masyarakat Melayu di pesisir.
Pertunjukan ini sekaligus menjadi momentum bagi konsolidasi menuju rencana nominasi zapin sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO pada tahun 2026 bersama Singapura, Thailand, Malaysia, dan Brunei.
Dengan dukungan BPK Wilayah IV melalui panggung riset-artistik seperti ZAMARA, bahwa komitmen untuk memperkuat argumentasi budaya serta menampilkan kekayaan ragam zapin di kawasan Riau dan Kepulauan Riau sebagai bagian dari lanskap budaya global.
Usai pertunjukan, para tokoh kebudayaan, penari, serta masyarakat yang hadir masih bertahan, berbincang di bawah cahaya lampu yang memantul pada dinding tua Jell Belanda.
Di tengah percakapan kecil yang mengalir, Bapak Jumhari menutup komentarnya dengan penuh keyakinan: “Inilah bentuk apresiasi kita terhadap Bengkalis. Budaya yang besar harus diberi panggung yang bermartabat”.
Dan malam di Jell Belanda pun perlahan mereda, meninggalkan gema zapin yang masih terasa di udara dan di hati orang-orang yang menyaksikannya.(***)













